Borneonetv.com, Jakarta – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, memberikan pernyataan reflektif dan analitis terkait sengketa batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara yang kini menjadi sorotan nasional. Polemik atas empat pulau, Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, bukan sekadar persoalan administratif, tetapi juga menyentuh dimensi historis, konstitusional, dan psikososial masyarakat di kedua provinsi. Dalam ketegangan yang semakin memuncak, Haidar Alwi menyoroti satu sosok yang tampil menenangkan dan strategis yaitu Sufmi Dasco Ahmad.
Sebagai Wakil Ketua DPR RI sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad memainkan peran penting sebagai jembatan komunikasi antara lembaga legislatif dan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Ia menyampaikan bahwa hasil komunikasi dengan Presiden telah menghasilkan keputusan penting: penyelesaian sengketa empat pulau tersebut akan langsung diambil alih oleh Presiden dan diputuskan dalam waktu dekat.
Pernyataan Sufmi Dasco Ahmad dinilai Haidar Alwi bukan hanya isyarat politis, tetapi bentuk diplomasi kenegaraan yang mengedepankan stabilitas dan kepercayaan publik. Ini menunjukkan komitmen pemerintahan terhadap penyelesaian cepat dan tegas dalam menyikapi konflik batas administratif yang berpotensi menciptakan ketegangan antarwilayah.
Konflik Panjang Batas Wilayah: Sejarah dan Kronologi
Polemik ini telah berlangsung sejak tahun 2008, ketika Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi dari Kemendagri memverifikasi jumlah dan nama pulau di wilayah Sumatera. Sumatera Utara saat itu mencatat 213 pulau, termasuk empat pulau tersebut. Sedangkan Aceh mencatat 260 pulau, namun tidak mencantumkan keempatnya, melainkan menggunakan nama lokal yang berbeda seperti Malelo, Rangit Besar, dan Rangit Kecil.
Pada tahun 2009, kedua gubernur mengirimkan konfirmasi daftar pulau ke Kemendagri, tetapi tidak ada kesepahaman yang tuntas. Pada 2017, Kemendagri melakukan analisis spasial dan menyimpulkan bahwa keempat pulau tersebut masuk wilayah Sumut. Proses ini terus berlanjut hingga terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 300.2.2‑2138 Tahun 2025 yang secara administratif menetapkan keempat pulau masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Pemerintah Provinsi Aceh menyatakan penolakan atas keputusan tersebut dan mengajukan peninjauan ulang. Reaksi keras muncul dari masyarakat Aceh Singkil yang merasa wilayah adat mereka dirampas secara sepihak. Isu batas wilayah pun berkembang menjadi isu identitas dan kedaulatan sejarah lokal.
Sufmi Dasco Ahmad: Negosiator Konstitusi di Tengah Gejolak Daerah
Di tengah suhu politik yang memanas, kehadiran Sufmi Dasco Ahmad menjadi penyejuk. Ia tidak tampil dengan retorika keras, melainkan menyampaikan pesan jelas: negara hadir. Dasco tidak berpihak ke salah satu provinsi, tetapi memastikan bahwa masalah ini harus selesai secara konstitusional, cepat, dan adil.
Menurut Haidar, langkah Dasco merupakan bentuk kepemimpinan kenegaraan yang semakin langka hari ini. Ketika banyak politisi menggunakan isu ini untuk menaikkan popularitas, Sufmi Dasco Ahmad memilih diam yang produktif, bekerja dalam jalur resmi, berkomunikasi langsung dengan Presiden, dan menyampaikan hasilnya kepada publik tanpa menyulut emosi massa.
Bagi Haidar, ini adalah bentuk kedewasaan politik yang penting untuk diteladani, khususnya di masa di mana narasi identitas sangat mudah dieksploitasi. Ia menyebut Dasco sebagai “penjaga keseimbangan”, seorang negosiator yang mampu memisahkan ego sektoral dari kepentingan nasional.
Seruan Damai dan Kebijaksanaan untuk Masyarakat Aceh dan Sumut
Haidar Alwi mengajak masyarakat Aceh dan Sumatera Utara untuk menyikapi persoalan ini dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Ia menyarankan agar polemik ini tidak ditanggapi dengan amarah, melainkan dijadikan refleksi atas pentingnya sistem tata kelola wilayah yang lebih partisipatif dan adil.
Menurutnya, pulau bisa berpindah titik di peta, tetapi rasa keadilan masyarakat tidak bisa begitu saja dikoreksi oleh keputusan administratif. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah pusat untuk menyertakan pendekatan sosial-historis dalam keputusan akhir.
Haidar juga menyarankan dibentuknya forum konsultatif yang melibatkan pemprov, tokoh adat, dan lembaga pemetaan independen.
Ia menyimpulkan bahwa apabila keputusan Presiden nanti dapat diterima oleh kedua pihak secara damai, maka Sufmi Dasco Ahmad akan dikenang bukan hanya sebagai politisi, tetapi sebagai penjaga harmoni kebangsaan dalam ruang yang sangat rawan retak.