Di Depan Komisi III DPR RI, Kapolda Metro Akui Sengketa Kepengurusan GCM Belum Dapat Solusi

Rapat dengar pendapat antara Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Karyoto dengan Komisi III DPR RI tentang sengketa kepengurusan Apartemen Graha Cempaka Mas (GCM).

Jakarta – Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Karyoto memaparkan pandangannya tentang sengketa kepengurusan Apartemen Graha Cempaka Mas (GCM) saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI.

Kapolda Karyoto juga mengakui bahwa perkara sengketa Apartemen GCM sampai sekarang belum mendapatkan solusi.

“Dalam perjalanannya, kami memonitor penyelesaian sengketa kepengurusan Apartemen GCM sudah menempuh berbagai jalur dalam penyelesaian sengketa. Bahkan pernah ada cara-cara yang sampai menyebabkan gangguan Kamtibmas,” terang Kapolda Karyoto dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin  Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (23/5) kemarin.

“Inilah kenapa sekarang kami ada di sini. Dengan demikian, sampai saat ini belum terjadi kesepakatan untuk mencari solusi secara musyawarah,” lanjutnya.

Rapat dengar pendapat ini juga turut hadir pihak yang bersengketa yakni penghuni apartemen dan pengelola PT Duta Pertiwi.

Di kesempatan yang sama, Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Hengki Haryadi menguraikan detail  awal mula kisruh apartemen GCM.

“Pembangunan Graha Cempaka Mas ini awalnya dibangun dalam 2 tahap. Tahap pertama pembangunan enam menara apartemen, yang terdiri atas 888 unit apartemen dan 161 unit ruko selesai tahun 1997. Kemudian tahap kedua pembangunan pusat perbelanjaan dan juga rukan empat susun selesai pada tahun 2002,” terangnya.

Setelah pembangunan selesai, kemudian dibentuk Perhimpunan Pemilih Rumah Susun Campuran (PPRSC) GCM dengan SK Gubernur Nomor 1209 Tahun 2000. Pada 2002-2012, mereka menunjuk PT Duta Pertiwi untuk menjadi pengelola, yang mengelola IPL (Iuran Pengelola Lingkungan).

Namun, pada 2013, PPRSC mengumumkan kenaikan rencana IPL dan PPN. Dari sana lah, kata Hengki, awal mula konflik terjadi karena mendapatkan resistensi dari sekelompok warga.

“Lima puluh orang ini membentuk Forum Komunikasi Warga (FKW) Graha Cempaka Mas atas inisiasi dari Bapak Tonny Soenanto dan Bapak Saurip Kadi. Kemudian, Forum Komunikasi Warga ini melakukan rapat umum luar biasa yang diinisiasi oleh Bapak Saurip Kadi, dan melakukan perubahan AD/ART serta membuat kepengurusan baru sehingga terjadi dualisme kepengurusan sejak 2013,” Hengki menjelaskan.

“PPRSC GCM  yang pertama menunjuk PT Duta Pertiwi sebagai pengelola itu membawahi kurang lebih 800 kepala keluarga. Sementara P3SRS GCM, ini Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun Graha Cempaka Mas  membawahi kurang lebih 200 kepala keluarga tapi tidak menunjuk badan pengelola,” sambungnya.

“Diawali adanya dualisme kepemimpinan dan kemudian adanya pembentukan P3SRS GCM oleh Pak Tonny Soenanto,  di sini pembentukan itu dianggap oleh kepengurusan yang lama tidak kuorum dan melanggar AD dan ART,” kata Hengki.

“Kemudian terjadi pemadaman listrik. Dalam perkembangannya sejak adanya RULB ini, bahkan setelah adanya SK Kepala Dinas Perumahan dan kawasan pemukiman Nomor 591, 592, kepengurusan Pak Tonny Soenanto ini mengumumkan agar membayarkan IPL listrik dan air kepada mereka terhadap 200 orang ini.”

“Warga sebagian membayarkan kepada PTRS ini. Namun fakta pemeriksaan kami, PLN ataupun listrik sama sekali tidak pernah dibayar. Dan ini sudah diakui juga oleh pengurus bahwa hanya membayar air saja. Nah ini yang menjadi akar permasalahan konflik di apartemen ini,” terang Hengki menandaskan. Bembo

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *