Jakarta, topikonline.co.id – Sidang perdana praperadilan atas kasus penggelapan, penipuan, dan penjualan aset kapal terkait pelapor HS dan terlapor F atau PT. MAS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (07/05/2019).
Kasus yang terdaftar dengan nomor 37/ Pid.Pra /2019/PN, berawal dari kepemilikan kapal atas nama HS sebesar 60% dan F atau PT MAS sebesar 40%. Lalu kapal tersebut di jual oleh F tanpa sepengetahuan HS yang notabene memiliki saham terbesar.
“Sidang tentang pembacaan permohonan keberatan keberatan kami atas diterbitkannya SP3 kepada Nona F karena kami melihat ketika melanggar aturan yang ada dalam KUHAP,” kata Hutajulu, tim kuasa hukum HS dari kantor pengacara Dhipa Adista Justicia (DAJ).

Sidang berikutnya, Selasa (7/5/2019) adalah agenda jawaban, Rabu bukti surat saksi, Kamis sidang untuk pemohon dan termohon, lalu Jumat kesimpulan setelah itu keputusan.
Ditambahkannya oleh Siska, anggota tim kuasa hukum bahwa mereka ingin menguji hukum melalui praperadilan.
“Kami menyatakan tidak terima, menurut kami tidak sah upaya penghentian penyidikan (SP3) oleh pihak kepolisian terhadap kasus klien kami,” kata Siska..
Lebih lanjut dirinya berharap kasus ini dapat dibuka kembali dan dilanjutkan hingga tahap berikutnya yaitu penuntutan.
“Kami berharap, perkara ini melalui putusan pengadilan dinyatakan tidak sah sehingga dibuka kembali proses penyidikannya bahkan ditingkatkan pada proses penuntutan ke Kejaksaan maupun pemeriksaan di pengadilan negeri,” ujar Siska.
Sementara itu anggota tim kuasa hukum yang lain, Sofyan Herianto Sianipar mengatakan bahwa materi kali ini menitikberatkan pada proses penghentian kasus
“Materi gugatan fokus pada objek yaitu penghentian penyidikan, dalam KUHAP kita diberi kewenangan mengajukan praperadilan,” tandasnya.
Ditempat lain Ketua kantor pengacara Dhipa Adista Justicia (DAJ)) Brigjen Pol (Purn) Drs Siswandi mengatakan bagaimana bisa ada penjualan kapal tersebut sementara sertifikatnya sendiri ada di bank.
“Bagaimana ceritanya kapal itu bisa dijual oleh terlapor yang sahamnya lebih sedikit. Bahkan sampai tidak tahu sertifikat dinyatakan hilang, sertifikat kapal mau difotokopi hilang, padahal sertifikat ada di bank. Siapakah yang bisa mengambil sertifikat kapal itu? Artinya ada penggandaan atau pemalsuan sertifikat,” papar Siswandi saat diwawancarai di kantornya, kawasan Gunawarman, Jakarta Selatan (14/4/2019).
Masih menurut Siswandi, kasus ini banyak kejanggalan dari awal. Seharusnya kepolisian sebelum menerbitkan SP3, pelapor atau korban kasus ini disidik dahulu bukan malah di SP3-kan pada saat yang bersamaan dengan pemanggilan. Itu baru profesional, sesuai program Polri, Promoter (profesional, modern, dan terpercaya).
“Banyak kejanggalannya, bagaimana pelapor atau korban saat dipanggil penyidik untuk membawa bukti-bukti tidak disidik dan bahkan hari yang sama juga dilaksanakan gelar penyidik dan di SP3. Bagaimana bisa? Harusnya disidik dulu, itu baru profesional sesuai Program Polri Promoter, “ pungkas Siswadi yang merupakan mantan petinggi di BNN. [Adang]