Jakarta – Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menempatkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan sebagai proritas pada 2018 mendatang.
“Sudah komitmen RUU ini menjadi paling prioritas di Komisi II,” ujar Wakil Ketua Komisi II Lukman Edy pada rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI, Rabu (22/11).
Menurutnya pembahasan revisi RUU Pertanahan akan dilaksanakan pada Januari 2018. “Kalau lancar bisa selesai satu dua kali sidang,” tambahnya.
Pada rapat tersebut, Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Pertanahan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A. Djalil. Penyerahan juga disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
Pada DIM RUU Pertanahan, Kementerian ATR/BPN memberikan sejumlah usulan baru, pendalaman dan perubahan. Menurut Menteri Sofyan, usulan diberikan agar UU pertanahan menjadi piranti social engineering yakni Undang-undang yang positif, yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
“RUU Pertanahan juga sebagai Omnibus Law, harus dapat menjembatani harmonisasi beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur soal tanah,” jelasnya.
Beberapa usulan baru yang diberikan antara lain penambahan hak penggunaan ruang di atas atau di bawah tanah, hal ini seiring dengan berbagai keperluan maupun infrastruktur publik. Pembentukan Bank Tanah juga diusulkan untuk menjamin kedaulatan negara atas tanah, mengontrol harga tanah dan menjamin tersedianya tanah untuk pembangunan.
Sofyan mengatakan usulan lain yakni hak pengelolaan sebagai hak atas tanah diberikan kepada instansi pemerintah dan masyarakat hukum adat. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum Hak atas Tanah tanpa menganggu kelangsungan usaha. “Harus berdasarkan prinsip saling menguntungkan,” kata dia.
Meski demikian Sofyan memastikan usulan pada DIM RUU Pertanahan tidak mengubah filosofi, asas dan prinsip Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Tetap berlaku dan menjadi rujukan RUU Pertanahan. UUPA tetap sebagai Undang-Undang Pokok,” tambahnya. (adang)